Banyak rekan – rekan yang sering mengatakan: Ayo rame – rame beli, biar harga sahamnya naik. Apakah harganya naik? Mengapa demikian? Mungkin artikel di bawah ini bisa memberikan jawaban dari sudut pandang berbeda.
Ada 2 klasifikasi investor di BEI. Apa itu? Mereka adalah nasabah ritel & nasabah institusi. Nasabah ritel mewakili individu / orang perorangan, sedangkan institusi mewakili perusahaan, baik perusahaan yang bergerak di bidang investasi, pengelolaan dana, ataupun perusahaan yang berinvestasi di saham.
Sebelum berbicara lebih lanjut, anda perlu tahu bahwa dari kedua tipe investor di atas, dibagi lagi menjadi investor lokal & asing. Investor lokal adalah individu ataupun institusi yang berasal dari Indonesia. Investor asing berasal dari luar negeri.
Belajar Saham lebih lanjut? klik disini: BELAJAR SAHAM PEMULA
Bagaimana peta kekuatan mereka? Pada artikel ini sebagian besar data kami ambil dari harian Kontan 17 Desember 2012 yang ditulis oleh bapak Budi Frensidy.
Nah, kembali ke topik investor ritel & institusi, berikut kami jabarkan ‘peta’-nya :
Jumlah investor institusi diperkirakan mencapai 9300 badan. Jika dibandingkan rekening efek BEI yang mencapai 400.000 rekening, maka porsi institusi hanya sebesar 2,325% saja. Apakah istilah: ‘Ayo rame – rame beli, biar harga sahamnya naik’ bisa diterapkan? Coba lihat di bawah ini
Dana yang dimiliki institusi diperkirakan 11x dana individu, menguasai 92% dana di BEI. Institusi terdiri dari 60% asing & 40% domestik.
Siapa sajakah investor institusi tersebut: Perusahaan asuransi, dana pensiun, manajer investasi, reksadana, holding company, serta hedge fund asing. Tanpa perlu kita menebak jenis institusi mana yang menguasai dana di antara sesama institusi, dapat disimpulkan bahwa institusi menguasai dana di BEI (baik lokal maupun asing). Jadi, istilah: ‘Ayo rame – rame beli, biar harga sahamnya naik’ apakah berlaku untuk ritel? Ya, kalau kita follow the big fundJ
Skor sementara: 1 – 0 untuk Institusi.
Belajar Saham lebih lanjut? klik disini: BELAJAR SAHAM PEMULA
Oke, kita akhiri pembahasan mengenai penguasaan dana. Coba kita dalami lagi perbedaan antara investor ritel & institusi di bawah ini.
Institusi membeli saham sesuai kebutuhan dan kebijakan perusahaan. Di sisi lain, investor ritel lebih dipengaruhi usia. Semakin muda maka porsi saham relatif lebih besar.
Bagaimana dengan laporan kinerja investasi bulanan? Mingguan? Kuartalan? Tahunan? Hampir semua investor ritel tidak memerlukan pertanggungjawaban seperti ini dan sangat sedikit yang melakukan review. Tapi bagi institusi sudah merupakan keharusan. Dana yang dimiliki dan dikelola untuk diinvestasikan selalu harus dapat dipertanggungjawabkan karena pada umumnya dana mereka berasal dari nasabah – nasabah yang mempercayakan uangnya. Bagaimana dengan anda?
Sudah merupakan rahasia umum bahwa banyak individu yang terjebak di saham – saham berisiko tinggi & nyangkut. Ini disebabkan karena tingkat keberanian untuk mengambil risiko yang tinggi ataupun banyak yang tidak mempedulikan risiko. Ditambah dengan strategi yang menitikberatkan pada keuntungan maksimal, kadang risiko diabaikan. Setuju? Lain dengan investor institusi, pengelolaan dana dititikberatkan untuk meminimalisir risiko dengan tingkat keuntungan yang mampu melampaui benchmark-nya (IHSG, LQ45, BI-Rate, dll). Dengan demikian, diversifikasi menjadi hal yang wajib. Likuiditas saham pun akan mencari kriteria pemilihan saham karena dana mereka tidaklah kecil.
Akhir pembahasan, jangka waktu investor ritel relatif pendek & mereka percaya saham yang mampu naik tinggi akan dapat mengulangi prestasinya (apakah mereka sudah menghitung risiko?). Sebaliknya, investor institusi memiliki jangka waktu investasi yang panjang. Mereka lebih melihat adanya potensi koreksi pada saham yang telah naik cukup tinggi dan potensi rebound pada saham yang telah turun dalam.
Belajar Saham lebih lanjut? klik disini: BELAJAR SAHAM PEMULA
KESIMPULAN:
Istilah ‘Ayo tarik rame – rame’ hanya efektif jika kita follow the market, bukan berusaha menggerakkan market. Mengapa? Karena dana ritel hanya 8% saja. Hati – hati dengan ajakan – ajakan beli yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sudah hal yang wajar, baik di industri pasar modal maupun industri riil, penguasa pasar dengan dana besar dapat mendikte pasar. Setuju? Ambil contoh di sektor riil dewasa ini, coba jawab siapa yang pertama kali mengkampanyekan:
- Online banking?
- Mobile banking?
- Premium taxi service?
- Mi instan?
- Motor Matic?
- Low cost green car?
- Hybrid technology?
Siapa yang mengampanyekan tapi gagal? Lalu dikembangkan pihak lain lalu berhasil? Mengapa yang pertama kali bisa gagal? Yang mengkampanyekan adalah perusahaan besar didukung dana besar. Jika ada yang gagal, yang menyuskseskan kembali adalah institusi yang lebih besar lagi bukan? Demikian pula di pasar finansial. Jika kita tahu posisi kita dimana, maka pikirkan baik – baik apakah kita akan menciptakan sebuah tren baru atau mengikuti tren yang sedang berkembangJ
Mengenai profitabilitas, mana yang lebih baik? Ritel ataukah institusi? Dari poin 4 s/d 11, tampak investor ritel tidak didukung oleh aturan – aturan dan kontrol terhadap investasinya. Institusi selalu di kontrol oleh aturan, kebijakan, serta pertanggungjawaban sehingga mereka lebih terarah dalam pengelolaan dananya. Menurut anda, mana yang hasilnya lebih baik? Institusi berpeluang mencatat kinerja lebih baik dari ritel.
Jadi, skor akhir: 2 – 0 untuk institusi.
Apakah ritel perlu mengakhiri perjuangannya? Tidak! Yang perlu kita lakukan adalah menjadi trend follower. Ingat konsep di sektor riil, jika kita tidak bisa menciptakan, ya kita mengikuti tren yang ada saat itu & mampu mengubah haluan jika tren berakhir. Be a good trend follower. Kemampuan menganalisa fundamental dan teknikal akan banyak membantu.
Mari trading dengan rapi seperti institusi, bergerak lincah bagaikan ritel. Inilah kombinasi & kelebihan yang dapat anda maksimalkan. Being a retail investor is more fun than being an institution
——
Belajar Saham lebih lanjut? klik disini: BELAJAR SAHAM PEMULA
——
Saham Kita | Investasi Saham | Analisa Saham | Belajar Saham